Hampir setiap tahun, saat Hari Raya Idul Fitri menjelang, selalu timbul perdebatan tentang penetapan jatuhnya hari raya tersebut. Beruntung umat muslim di Indonesia tergolong toleran satu sama lain hingga tidak terjadi gontok-gontokan antara orang-orang yang beda pendapat.
Sebenarnya perbedaan penentuan tersebut telah berlangsung lama. Dan akar dari perbedaan itu adalah perbedaan metode dalam menetapkan tanggal jatuhnya Hari Raya Idul Fitri. Secara garis besar, perbedaan penentuan awal bulan itu terbagi menjadi dua metode, yakni:
Metode Ru’yat
Dalam metode ini penentuan awal bulan harus melalui ru’yatul hilal (penglihatan bulan baru) dengan mata/alat secara langsung pada tanggal 29 sore menjelang maghrib (tahun Hijriah).
Jika ternyata hilal/bulan baru tersebut tidak berhasil dilihat, maka bulan tersebut disempurnakan / digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari (hingga tanggal 30). Artinya belum masuk bulan baru, meski hasil hisab menunjukkan hilal di atas ufuk ketika matahari tenggelam.
Dasar : HR Bukhari Muslim, tentang ru’yat menentukan awal puasa.
Metode Hisab
Dalam metode ini penentuan awal bulan cukup menggunakan hasil perhitungan hisab/ilmu falak/astronomi. Jika menurut hasil hisab/perhitungan menunjukkan hilal/bulan di atas ufuk ketika matahari tenggelam, maka hari berikutnya sudah masuk tanggal satu. Walaupun hasil ru’yat tidak berhasil melihat bulan baru tersebut.
Dasar : Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. (QS. 55:5), dan lain-lain ayat tentang. fungsi bulan sebagai perhitungan)
Hal lain yang mendasari penggunaan hisab sebagai metode penentuan. Terkadang posisi suatu tempat membuat proses ru’yat amat sulit dilaksanakan. Gangguan cuaca pun sering menjadi penghalang bagi proses penentuan ini. Mendasarkan pada beberapa faktor diatas, maka beberapa pihak lebih memilih menggunakan metode hisab.
Lalu bagaimana Anda sebagai umat muslim menyikapi perbedaan ini? Hmmm. Itu semua terserah Anda, silahkan menentukan sendiri mau mengikuti metode yang mana. Yang paling penting, Anda mengetahui dasar-dasar perbedaan itu, atau dengan istilah lain “kita paham dengan ilmunya”.
Ada cerita unik tentang perbedaan ini. Mungkin Anda pernah mendengar kisah pengutusan para Sahabat Nabi ke Perkampungan Bani Quroizhoh. Sebelum berangkat, Rasulullah SAW berpesan kepada para sahabatnya begini:
”Janganlah ada seorang pun dari kalian yang mengerjakan shalat Ashar, kecuali setelah sampai di Bani Quroidzhoh!”
Demikian pesan Rasulullah SAW kepada mereka. Namun, di tengah perjalanan, masuklah waktu shalat Ashar. Para sahabat kemudian berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa mereka harus tetap shalat pada waktunya.
Menurut penafsiran mereka perintah Rasulullah itu agar para Sahabat mempercepat perjalanan sehingga bisa sampai di Bani Quroizhoh ketika waktu Ashar. Merekapun kemudian shalat di tengah jalan.
Sahabat yang lain lagi memahami berbeda. Mereka berkesimpulan bahwa mereka dilarang shalat, kecuali di Bani Quroizhoh. Sehingga merekapun tidak ikutan shalat. Mereka baru melaksanakannya ketika sudah sampai di Bani Quroizhoh.
Kemudian setelah itu, merekapun menyampaikan hal ini kepada Rasulullah SAW. Namun Rasulullah tidak memarahi mereka karena berbeda pendapat dalam masalah ini. Rasulullah SAW hanya tersenyum, alias tak ada yang salah dari keduanya.
Sehingga dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Islam memberi keleluasaan dalam masalah-masalah fikih yang seperti ini. Mari kita bijak dalam perbedaan. Tak perlu saling berselisih.
Lalu bagaimana dengan Anda, metode manakah yang Anda pilih ?